Langkah Purbaya Yudhi Sadewa untuk mengaudit ulang sistem perpajakan nasional telah menggetarkan tembok kekuasaan ekonomi lama. Audit ini bukan sekadar prosedur fiskal — ini adalah pukulan telak ke jantung kepentingan segelintir elite yang selama ini hidup nyaman dalam “zona abu-abu” perpajakan.
Di saat banyak pejabat memilih aman, Purbaya justru menyalakan api terang ke wilayah yang gelap: praktik penghindaran pajak, kongkalikong fiskal, dan privilege ekonomi yang tak pernah disentuh hukum secara serius. Maka tidak heran, kabar bahwa kelompok “9 Naga” mulai “turun gunung” bukanlah cerita fiksi politik. Ini adalah refleksi nyata dari betapa kuatnya perlawanan ketika kepentingan besar terusik.
Pajak adalah darah negara. Namun selama ini, sebagian besar aliran darah itu bocor ke jalur gelap — menguap lewat rekayasa laporan keuangan, suaka pajak, atau perjanjian-perjanjian bisnis yang hanya menguntungkan segelintir orang. Transparansi pajak berarti mengakhiri pesta lama. Dan tentu saja, siapa pun yang mengakhiri pesta tidak akan disambut dengan tepuk tangan.
Langkah Purbaya mengaudit ulang sistem pajak adalah ujian serius:
- Apakah negara benar-benar berdiri untuk rakyat atau hanya menjadi pelayan oligarki?
- Apakah hukum fiskal berlaku sama untuk semua, atau hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas?
Dukungan publik yang mengalir deras di media sosial menunjukkan bahwa masyarakat sudah jengah. Rakyat ingin negara berdiri tegak, bukan membungkuk di depan uang. Narasi “naga keluar dari sarangnya” menggambarkan betapa banyak kepentingan yang sedang ketakutan jika terang benar-benar dinyalakan.
Namun sejarah mengajarkan satu hal: reformasi pajak selalu melahirkan perlawanan besar. Tidak sedikit pejabat yang tumbang karena berani menyentuh kepentingan besar. Pertanyaan pentingnya kini — apakah Purbaya akan bertahan dan mengubah sejarah, atau menjadi korban berikutnya dari kekuatan tak kasat mata?
Jika negara mundur dalam pertarungan ini, bukan sekadar audit pajak yang gagal. Itu akan menjadi sinyal bahwa hukum hanya berlaku bagi yang lemah, sementara naga-naga kekuasaan tetap bebas terbang di atas hukum. Tapi jika negara teguh berdiri, maka ini bisa menjadi babak baru bagi keadilan fiskal Indonesia.
Purbaya boleh berani, tapi keberanian seorang pejabat saja tidak cukup. Rakyat harus berdiri bersama transparansi, bukan tunduk pada naga.
Karena pada akhirnya, pajak bukan milik naga — pajak adalah milik rakyat.
Komentar